Pejuang Kata-kata

Menjadi pejuang kata-kata suatu pekerjaan yang menyenangkan. Lahir dari kata, bekerja untuk kata, hidup juga karena kata.

Karena kata-kata juga Blog ini lahir untuk memainkan setiap sentuhan kata yang dirangkai menjadi sebuah tulisan. Selamat bermain kata-kata.

Selasa, 25 Februari 2014

Mahmud Yunus, Menteri Darurat RI

Foto Mamud Yunus di rumahnya (Padang Jopang). 
Awalnya kami berfikir tentang tempat "keramat" yang menjadi simbol kebanggaan masyarakat, dijaga dan dirawat dengan semestinya. Seperti beberapa monumen bersejarah di kota ini, ada orang yang menjaga dan merawatnya. Namun berbeda dengan seorang tokoh pendidikan Islam yang telah mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam ini, kini peninggalannya hanya tinggal dalam lipatan sejarah dan tergerus zaman.

Dia memang telah menorehkan sejarah di beberapa lembaga, namun melihat kondisi peninggalan alangkah luka hati kami. Kecamatan Guguk Kenagarian Tujuah Koto Talago Jorong Padang Jopang, Payakumbuh (Sumatera Barat) menjadi saksi tempat rasa penasaran kami untuk menelusuri jejak perjuangan hidupnya.

Di Padang Jopang tepatnya, tempat Mahmud Yunus alumni Al-Azhar itu melakukan pengembaraan hidupnya. Ketika itu Sabtu (23/11/13) pukul 11.30 WIB kami menginjakan kaki di Padang Jopang. Senyum manis terpancar dari bibir Adia Putra, kepala sekolah Pesantren Darul Funun El-Abbasiyah Padang Jopang. Ia menyambut kedatangan kami ke sekolahnya. Dengan sapaan ramah kami dipersilahkan masuk dan duduk. Ketika itu anak sekolah masih ramai bermain.

Diruangan 2x2 kami memulai perbincangan dengan Adia. Terlihat dua buah aqua gelas disuguhkan. Kami menyampaikan tujuan. Sekitar lima belas menit bercerita, Adia membantu kami menunjukan rumah istri Mahmud Yunus di sana. Kami diantar ke Rumah Mak Jawa, begitu nama beken rumah rumah isteri kedua Mahmud Yunus.

Ketika sampai disana, kami tidak menemukan orang yang bisa memberikan keterangan terkait rumah itu. Hanya disambut dengan rumput-rumput liar rumah tua yang tak bertuan. Rumah tua terdapat tulisan Museum PDRI, tugu perundingan, dan mushalla yang sudah copot tulisannya.

Kami terus berjalan ke sebuah pangkas rambut mengikuti perjalanan Adia. Ternyata juga tidak ada narasumber yang bisa dimintai keterangan. Dari keterangan tukang pangkas itu memang sudah tidak ada lagi saksi sejarah yang bisa dimintai keterangan, ternyata saksi sejarah sudah banyak meninggal dunia dan pikun. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan ke Jorong Ampang Gadang.  dan berpisah dengan Adia di samping pangkas itu.

Pemerintahan Nagari tak Kenal Mahmud Yunus

Kami sampai di sebuah kantor yang sedang direnovasi. Singgah di sebuah kedai dan menanyakan tentang Wali Nagari. Seorang laki-laki berkumis tebal keluar dan menyalami kami. Afrizal (41 tahun) begitu orang-orang memanggilnya. Ia mempersilahkan kami masuk dan duduk disebuah kursi, kami memperhatikan peta nagari tersebut.

Perbincangan dimulai, menurut Afrizal, Mahmud Yunus merupakan tokoh yang mendominasi dalam bidang  keagamaan. Semangat perjalanan yang ditorehkannya masih memotivasi hingga hari ini.

Secara tidak langsung menurut Afrizal pemikiran Mahmud Yunus berdampak, karena apa yang ada di kampungnya memiliki norma-norma adat. Kekecewaan juga dirasakan pria asli Ampang Gadang ini, melihat kondisi peninggalan Mahmud Yunus hari in Afrizal mengaku belum ada perhatian dari masyarakat setempat.

Selaku warga asli Nagari Tujuah Koto Talago ia menyatakan bahwa ada berfikir untuk melestarikan peninggalan-peninggalan Mahmud Yunus. menurutnya museum dan rumah Mak Jawa atau Jawahir (isteri Mahmud Yunus) sedikit belum memiliki daya tarik bagi masyarakat umum. “Terlepas  dari konteks itu norma-norma adat di kampung sudah mulai terabaikan, perhatian masyarakat setempat belum ada hingga hari ini, gagasan pun belum untuk membangkitkan kembali,” ujarnya kepada kami.

Hal yang paling miris menurut pria ini menurunnya kesadaran untuk menjaga warisan intelektual Mahmud Yunus. hal ini akan berefek kepunahan dari setiap karya-karyanya. Seharusnya apresiasi atau penghargaan lebih di semarakkan. “Beberapa dekade ke depan sulit untuk menjaga warisan itu, karena generasi hari ini jauh merosot. Kita tetap optimis walupun kesadaran itu hanya sedikit,” ujar pria yang pernah mengecam pendidikan di Fakultas Ushuluddin IAIN IB Padang ini.

Selaku anak nagari Ampang Gadang sendiri mengaku belum pernah melihat karya Mahmud Yunus secara real, seperti buku, hanya mendengar dari cerita rakyat. Harapannya meski pun hilang namun jangan sampai tidak dikenang. “Bagi masyarakat banyak silahkan salut, kagum, respek itu bagus untuk memotivasi diri dalam mewarisi ketokohan Mahmud Yunus,” jelasnya.

Dari Kantor Wali Jorong Ampang Gadang kami melanjutkan perjalanan menemui Wali Nagari Tujuah Koto Talago. Sebelumnya kami meminta nomor Handphone Wali Nagari kepada Afrizal. Setelah menghubungi Wali Nagari ternyata ia tidak jauh dari kantor Wali Jorong itu.

Ketika kami temui, Wali Nagari Tujuah Koto Talago Yon Hendri di sebuah warung mengatakan, sedikit cerita tentang Mahmud Yunus disini (Padang Jopang) Rumah Mak jawa memang dahulunya dijadikan tempat perundingan, selain itu Rumah Mak Jawa dijadikan sebagai museum PDRI yang masuk cagar budaya. Kenapa PDRI menjadikan tempat ini sebagai tempat perundingan karena terjamin keamanannya.

“Dahulu Syekh-syekh banyak menyumbangkan anaknya untuk ikut pasukan Fisabilillah, pasukan perang melawan belanda,” tutur Yon.

Perbincangan berlanjut, untuk konteks Mahmud Yunus sendiri Yon mengaku kurang tahu bagaimana Mahmud Yunus dahulunya.  


Di Mata Mereka

Setelah berbincang-bincang dengan Yon Hendri, kami melanjutkan perjalanan ke rumah Darwima (64 tahun) cucu dari Jawahir, ia merupakan salah seorang pemegang kunci Rumah Mak Jawa dan museum PDRI. Namun sayang, setiba di rumahnya kami tidak bertemu dengan Darwima. Hanya Hasri (suami Darwima) yang ada dirumah ketika itu. Dia mengatakan bahwa isterinya dalam perjalanan menuju rumah karena Darwima pergi ke rumah anaknya di Pekan Baru. Kami sempat menelpon Darwima dan membuat janji pukul 17.00 WIB.

Dalam bincang-bincang bersama Hasri, dia menuturkan tentang kondisi peninggalan Mahmud Yunus. Dia mengaku memang tidak terlalu banyak tahu terkait Rumah dan museum, namun dari matanya kami menangkap aura kesedihan melihat kondisi peninggalan Mahmud Yunus hari ini.

Foto Mahmud Yunus Bersama Jawanis isteri keduanya di rumah yang sudah tidak berpenghuni (Padang Jopang).
Karena tidak bertemu dengan Darwima, kami meneruskan perjalanan ke rumah Yanuar Abdullah (63 tahun) salah seorang tokoh masyarakat. Dari keterangan Yon Hendri Yanuar mengetahui bagaimana cerita Mahmud Yunus dahulunya. Dari Padang Jopang menuju Koto Kociak, kami disambut Yanuar ketika itu sedang bekerja di teras rumahnya. Berbicang-bincang dan menggali sedikit informasi disana.

Yanuar mengatakan bahwa Mahmud Yunus merupakan tokoh terkemuka, pemikirannya banyak ditularkan dalam berdirinya sekolah-sekolah agama di Sumatera Barat, ia merupakan tokoh pembaharu Indonesia. Katanya Syekh Abdullah Abbas (pendiri Darul Funun) menemui Mahmud Yunus ketika itu berada di Mesir, setelah itu ia keliling pulau jawa melihat pesantren-pesantren yang ada sekitar tahun 1930. Lalu Syekh Abbas mendirikan Darul Funun yang mengubah konsep dari Surau ke Klasikal.

Cerita berlanjut perjalanan Mahmud Yunus ke Padang Jopang melalui fase yang cukup panjang, berawal dari peristiwa PDRI 1948-1949 dari Djogjakarta (fase Jogja, bukittinggi, halaban) ketika itu menjabat sebagai Gubernur Sumatera Tengku Muhammad Hasan.

Menurut cerita Yanuar, dahulu Mahmud Yunus bertemu Tengku Muhammad Hasan di Bukittinggi pasca penyerangan pada beberapa titik di Indonesia. Belanda telah menguasai Indonesia, Soekarno-Hatta ditangkap. Belanda menggempur Siantar, lalu Bukittinggi.

Dari Siantar Tengku Muhammad Hasan bergerilia sampai ke Bukittingi, disanalah pertemuan Mahmud Yunus dengannya. Sementara ketika itu tampuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dijalankan oleh Syafruddin Prawiranegara. Soekarno memberikan mandat kepadanya, dan Tengku Muhammad Hasan jadi wakil ketika itu.

“Ketika PDRI waktu itu, Kementerian Agama dan Pendidikan di pegang angku Mahmuik (sebutan Mahmud Yunus). Ia ditunjuk sebagai Menteri Agama dan Pendidikan Darurat. Berkantor, bekerja dalam pemerintahan darurat di Padang Jopang. Untuk pendidikan darurat jalan terus,” ujar Yanuar.

Lebih lanjut Yanuar menjelaskan, karena PDRI di Padang Jopang waktu itu, rumah Jawahir dijadikan tempat perundingan. “Mahmud Yunus menjalankan sekolah darurat ke surau-surau ia juga membuat buku untuk pedoman mengajar,” ucap mantap ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumbar itu.

 Dari pemaparannya di Padang Jopang juga ada pasukan Fisabilillah dan Hisbul watan. Pasukan Fisabilillah itu ada karena semangat membela negara dari serangan belanda tinggi. Syekh yang ada di Padang Jopang menyumbangkan anaknya untuk berperang, dan Hisbul Watan terdiri dari wanita-wanita untuk jadi pandu dan juru masak ketika itu. 

Selain itu di Tujuah Koto Talago ada Markas Komando Pertahanan Keamanan Resort 50 Kota ada di Tobek Godang, Ampang Godang. beberapa nama tentara yang disebutkan Yanuar ketika PDRI berlangsung. Tentara itu berasal dari daerah Ampang Godang dan Padang Jopang. Diantaranya Letnan Azhari Abbas (anak Syekh Abbas), Letda Tantawi (anak Syekh Mustafa), Syamsiram (Padang Jopang), Hamdani (Padang Jopang), Munir. A (Padang Jopang), Alizar (Padang Jopang), Syahruddin Said (Ampang Godang), Daman Huri (Ampang Godang).  

Menurutnya kenapa peninggalan bersejarah dan Rumah Mak Jawa tidak terawat, karena keluarga Mahmud Yunus kurang keterbukaan informasi. Ada beberapa ketakutan dari pihak keluarga ketika amanah diberikan kepada masyarakat setempat.

“Menurut saya Pemerintahan Nagari sebenarnya mempunyai otonom yang bisa dilahirkan dari peraturan Nagari (Pernag). Tidak usah menunggu dari pemerintah daerah,” ucapnya.

Terkait jabatan yang dipegang Mahmud Yunus sebagai menteri darurat waktu itu, Mestika Zed Pakar Sejarah UNP menyatakan itu bisa terjadi. Karena melihat bukti sejarah itu adanya PDRI dan rumah isteri Mahmud Yunus disana. Selain itu sebagai tokoh pembaharu dan pendidikan dalam kondisi darurat tidak menutup kemungkinan Mahmud Yunus jadi menteri. “Jadi karena latar belakang kekacauan waktu itu belanda menyerang, jadi banyak para pelaku-pelaku PDRI kesana, ada juga yang berkeluarga, termasuk Mahmud Yunus,” ujar Mestika Zed kepada kami, Kamis (28/11).

Meskipun demikian, Mestika Zed berpesan jangan terlalu heroik dengan cerita rakyat, namun karena perjalan dan saksi sejarah beserta monumen yang ada setidaknya kita bisa meneladani sosok Mahmud Yunus. 

Ketika ditanya sejarah dinamakan IAIN Imam Bonjol Mestika Zed mengatakan, Indonesia memang sering berorientasi memberi nama-nama pahlawan terkait orang-orang perang melawan belanda. untuk nama universitas dimana-mana termasuk perguruan tinggi di IAIN tentunya pejuang ulama. Dan juga nama-nama perguruan tinggi umum, dan juga nama-nama unit militer. Jadi pejuang itu adalah orang yang melawan belanda.

Setelah wawancara beberapa jam dirumah Yanuar kami kembali menemui Darwima di rumahnya. Sesuai dengan janji yang dibuat ia sampai pukul 17.00 WIB namun karena bus yang ditumpanginya mengantar penumpang lain Darwima sampai habis Shalat Magrib.

Kami berangkat menuju rumah Adia untuk bercerita dan melaksanakan shalat Magrib. Selesai shalat kami kembali kerumah Darwima, ia sampai di Padang Jopang dan kami ikut membantunya membawakan barang bawaannya. Sampai dirumah kami duduk-duduk sebentar lalu memulai perbincangan.
 

Penjaga Sukarela

Sembali menyunguhkan buah tangannya Darwima menanya tentang kami. Mukanya merah aura kelelahan. Ia memulai ceritanya tentang keadaan rumah dan museum hari ini. Menurut penuturan Im (panggilannya) terakhir yang menjaga rumah Mak Jawa ialah Tono (anak angkat Mahmud Yunus). Saksi sejarah terakhir PDRI ada Ismail Hasan. Namun ia juga telah meninggal.

“Hingga hari ini tak ada yang mengurus peninggalan-peninggalan mahmud yunus, rumah, museum. Saya telah mengajukan proposal kepada pihak Cagar Budaya di Batusangkar. Untuk memperbaiki museum, namun hingga hari ini SK belum keluar,” ujar Im.

Buku-buku karya Mahmud Yunus sudah tidak terawat lagi, habis dimakan rayap (di Sungayang tempat kelahirannya).
Im juga menambahkan, buku-buku Mahmud Yunus ada di dalam Mushalla al-Ikhlas sebelah museum. Naum hingga hari ini buku-buku itu sudah banyak yang hilang, karena administrasinya tidak ada lagi. Dari keterangan Im ada beberapa orang anak Jawahir dengan Mahmud Yunus. “Mahmud Yunus memiliki tiga orang anak bersama Jawahir, diantaranya Jawanis, Hamdi, Fakhruddin,” ucapnya.

Untuk PDRI ketika Islamil hasan masih hidup iamengatakan, ketika perundingan keluarga Jawahir bersedia menyediakan rumah untuk rapat. Ismail Hasan saksi sejarah terakhir ketika PDRI menjadi notulen. Setiap peringatan Hari Bela Negara 19 Desember Ismail sering memberi pidato tentang PDRI. “Pak Ismail dalam pidatonya selalu menceritakan tentang perundingan dulu, dia juga memberikan dana 20 juta untuk rehab museum. Sebagai penggagas pembuatan museum ia ingin monumen sejarah tetap dikenang,” kata Im.  

Romantisme Mahmud Yunus

Dari keterangan Yanuar. Sosok Mahmud Yunus dikenal masyarakat Nagari Tujuah Koto sebagai orang surau (ustad), maka timbul pertanyaan bagiamana kisahnya romantismenya dengan jawahir? Hingga mereka merajut asa bersama menjalin bahtera kehidupan.

Awal pertemuan Mahmud Yunus sering memberikan siraman rohani di surau (Mushalla), disekitar Nagari Tujuah Koto Talago. ada beberapa suraunya yang dikenal masyarakat seperti Surau Baruah. Surau Mahmud Yunus tersebut dijadikan icon untuk menimba ilmu agama islam setempat. bukan saja anak remaja tapi orang dewasa sampai orang tua.

 Hari berlalu, seriring jam terbang Mahmud Yunus tinggi dalam menyampaikan ajaran agama Islam maka  mahmud  yunus cukup terkenal di nagari Tujauh Koto Talago, jamaah bertambah banyak. Bahkan pengawal Gubernur Sumatera Barat waktu itu, bernam serong, mengikuti ajaran Mahmud Yunus dari surau ke surau.
Serong lah yang mempertemukan Mahmud Yunus  dengan Jawahir pertama kalinya secara empat mata. Memang jawahir murid dari mahmud yunus di surau baruah. Namun bertemu secara empat mata mahmud yunus tidak mau karena takut dianggap fitnah oleh masyarakat setempat. Sekaligus menjaga kredibilitas sebagai urang surau tersebut.

(Ridho Permana, Epi Chandra)


1 komentar:

  1. sungguh sangat di sayangkan peninggalan yg besar dari pemikiran yg dahsyat di lupakan,diterlantarkan,diacuhkan oleh sebagian ummat manusia....

    BalasHapus