Foto Mamud Yunus di rumahnya (Padang Jopang). |
Dia memang telah menorehkan sejarah di beberapa lembaga, namun melihat kondisi peninggalan alangkah luka hati kami. Kecamatan Guguk Kenagarian Tujuah Koto Talago Jorong Padang Jopang, Payakumbuh (Sumatera Barat) menjadi saksi tempat rasa penasaran kami untuk menelusuri jejak perjuangan hidupnya.
Di
Padang Jopang tepatnya, tempat Mahmud Yunus alumni Al-Azhar itu melakukan
pengembaraan hidupnya. Ketika itu Sabtu (23/11/13)
pukul 11.30 WIB kami menginjakan kaki di Padang Jopang. Senyum manis terpancar
dari bibir Adia Putra, kepala sekolah Pesantren Darul Funun El-Abbasiyah Padang
Jopang. Ia menyambut kedatangan kami ke sekolahnya. Dengan sapaan ramah kami dipersilahkan masuk dan duduk. Ketika itu
anak sekolah masih ramai bermain.
Diruangan
2x2 kami memulai perbincangan dengan Adia. Terlihat dua buah aqua gelas
disuguhkan. Kami menyampaikan tujuan. Sekitar lima belas menit bercerita, Adia
membantu kami menunjukan rumah istri Mahmud Yunus di sana. Kami
diantar ke Rumah Mak Jawa, begitu nama beken rumah rumah isteri kedua Mahmud
Yunus.
Ketika
sampai disana, kami tidak menemukan orang yang bisa memberikan keterangan
terkait rumah itu. Hanya disambut dengan rumput-rumput liar rumah tua yang tak
bertuan. Rumah tua terdapat tulisan Museum PDRI, tugu perundingan, dan mushalla
yang sudah copot tulisannya.
Kami
terus berjalan ke sebuah pangkas rambut mengikuti perjalanan Adia. Ternyata
juga tidak ada narasumber yang bisa dimintai keterangan. Dari keterangan tukang
pangkas itu memang sudah tidak ada lagi saksi sejarah yang bisa dimintai
keterangan, ternyata saksi sejarah sudah banyak meninggal dunia dan pikun.
Akhirnya kami melanjutkan perjalanan ke Jorong Ampang Gadang. dan berpisah dengan Adia di samping pangkas
itu.
Pemerintahan Nagari tak
Kenal Mahmud Yunus
Kami
sampai di
sebuah kantor yang
sedang direnovasi. Singgah di sebuah kedai dan
menanyakan tentang Wali Nagari. Seorang laki-laki berkumis tebal keluar dan
menyalami kami. Afrizal (41 tahun) begitu orang-orang memanggilnya. Ia
mempersilahkan kami masuk dan duduk disebuah kursi, kami memperhatikan peta
nagari tersebut.
Perbincangan
dimulai, menurut Afrizal, Mahmud Yunus merupakan tokoh yang mendominasi dalam bidang
keagamaan. Semangat perjalanan yang
ditorehkannya masih memotivasi hingga hari ini.
Secara
tidak langsung menurut Afrizal pemikiran Mahmud Yunus berdampak, karena apa
yang ada di kampungnya memiliki norma-norma adat. Kekecewaan
juga dirasakan pria asli Ampang Gadang ini, melihat kondisi peninggalan Mahmud
Yunus hari in Afrizal mengaku belum ada perhatian dari masyarakat setempat.
Selaku warga asli Nagari Tujuah Koto Talago ia menyatakan bahwa ada berfikir
untuk melestarikan peninggalan-peninggalan Mahmud Yunus. menurutnya museum dan
rumah Mak Jawa atau Jawahir (isteri Mahmud Yunus) sedikit belum memiliki daya
tarik bagi masyarakat umum. “Terlepas
dari konteks itu norma-norma adat di kampung sudah mulai terabaikan,
perhatian masyarakat setempat belum ada hingga hari ini, gagasan pun belum
untuk membangkitkan kembali,” ujarnya kepada kami.
Hal
yang paling miris menurut pria ini menurunnya kesadaran untuk menjaga warisan
intelektual Mahmud Yunus. hal ini akan berefek kepunahan dari setiap
karya-karyanya. Seharusnya apresiasi atau penghargaan lebih di semarakkan. “Beberapa
dekade ke depan sulit untuk menjaga warisan itu, karena generasi hari ini jauh
merosot. Kita tetap optimis walupun kesadaran itu hanya sedikit,” ujar pria yang
pernah mengecam pendidikan di Fakultas Ushuluddin IAIN IB Padang ini.
Selaku
anak nagari Ampang Gadang sendiri mengaku belum pernah melihat karya Mahmud
Yunus secara real, seperti buku,
hanya mendengar dari cerita rakyat. Harapannya meski pun hilang namun jangan
sampai tidak dikenang. “Bagi masyarakat banyak silahkan salut, kagum, respek
itu bagus untuk memotivasi diri dalam mewarisi ketokohan Mahmud Yunus,”
jelasnya.
Dari
Kantor Wali Jorong Ampang Gadang kami melanjutkan perjalanan menemui Wali
Nagari Tujuah Koto Talago. Sebelumnya kami meminta nomor Handphone Wali Nagari kepada Afrizal. Setelah menghubungi Wali
Nagari ternyata ia tidak jauh dari kantor Wali Jorong itu.
Ketika kami temui, Wali Nagari Tujuah Koto Talago Yon Hendri di sebuah
warung mengatakan, sedikit cerita tentang Mahmud Yunus disini (Padang Jopang) Rumah
Mak jawa memang dahulunya dijadikan tempat perundingan, selain itu Rumah Mak
Jawa dijadikan sebagai museum PDRI yang masuk cagar budaya. Kenapa PDRI
menjadikan tempat ini sebagai tempat perundingan karena terjamin keamanannya.
“Dahulu
Syekh-syekh banyak menyumbangkan anaknya untuk ikut pasukan Fisabilillah,
pasukan perang melawan belanda,” tutur Yon.
Perbincangan
berlanjut, untuk konteks Mahmud Yunus sendiri Yon mengaku kurang tahu bagaimana
Mahmud Yunus dahulunya.
Di Mata
Mereka
Setelah
berbincang-bincang dengan Yon Hendri, kami melanjutkan perjalanan ke rumah
Darwima (64 tahun) cucu dari Jawahir, ia merupakan salah seorang pemegang kunci
Rumah Mak Jawa dan museum PDRI. Namun sayang, setiba di rumahnya kami tidak
bertemu dengan Darwima. Hanya Hasri (suami Darwima) yang ada dirumah ketika itu.
Dia mengatakan bahwa isterinya dalam perjalanan menuju rumah karena Darwima pergi
ke rumah anaknya di Pekan Baru. Kami sempat menelpon Darwima dan membuat janji
pukul 17.00 WIB.
Dalam
bincang-bincang bersama Hasri, dia menuturkan tentang kondisi peninggalan
Mahmud Yunus. Dia mengaku memang tidak terlalu banyak tahu terkait Rumah dan
museum, namun dari matanya kami menangkap aura kesedihan melihat kondisi
peninggalan Mahmud Yunus hari ini.
Foto Mahmud Yunus Bersama Jawanis isteri keduanya di rumah yang sudah tidak berpenghuni (Padang Jopang). |
Yanuar
mengatakan bahwa Mahmud Yunus merupakan tokoh terkemuka, pemikirannya banyak
ditularkan dalam berdirinya sekolah-sekolah agama di Sumatera Barat, ia
merupakan tokoh pembaharu Indonesia. Katanya Syekh Abdullah Abbas (pendiri
Darul Funun) menemui Mahmud Yunus ketika itu berada di Mesir, setelah itu ia
keliling pulau jawa melihat pesantren-pesantren yang ada sekitar tahun 1930. Lalu
Syekh Abbas mendirikan Darul Funun yang mengubah konsep dari Surau ke Klasikal.
Cerita
berlanjut perjalanan Mahmud Yunus ke Padang Jopang melalui fase yang cukup
panjang, berawal dari peristiwa PDRI 1948-1949 dari Djogjakarta (fase Jogja,
bukittinggi, halaban) ketika itu menjabat sebagai Gubernur Sumatera Tengku Muhammad
Hasan.
Menurut
cerita Yanuar, dahulu Mahmud Yunus bertemu Tengku Muhammad Hasan di Bukittinggi
pasca penyerangan pada beberapa titik di Indonesia. Belanda telah menguasai
Indonesia, Soekarno-Hatta ditangkap. Belanda menggempur Siantar, lalu
Bukittinggi.
Dari
Siantar Tengku Muhammad Hasan bergerilia sampai ke Bukittingi, disanalah
pertemuan Mahmud Yunus dengannya. Sementara ketika itu tampuk Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia dijalankan oleh Syafruddin Prawiranegara. Soekarno
memberikan mandat kepadanya, dan Tengku Muhammad Hasan jadi wakil ketika itu.
“Ketika
PDRI waktu itu, Kementerian Agama dan Pendidikan di pegang angku Mahmuik (sebutan Mahmud Yunus). Ia ditunjuk sebagai Menteri Agama dan Pendidikan
Darurat. Berkantor, bekerja dalam pemerintahan darurat di Padang Jopang. Untuk
pendidikan darurat jalan terus,” ujar Yanuar.
Lebih
lanjut Yanuar menjelaskan, karena PDRI di Padang Jopang waktu itu, rumah
Jawahir dijadikan tempat perundingan. “Mahmud Yunus menjalankan sekolah darurat
ke surau-surau ia juga membuat buku untuk pedoman mengajar,” ucap mantap ketua
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumbar itu.
Dari pemaparannya di Padang Jopang juga ada pasukan
Fisabilillah dan Hisbul watan. Pasukan Fisabilillah itu ada karena semangat
membela negara dari serangan belanda tinggi. Syekh yang ada di Padang Jopang
menyumbangkan anaknya untuk berperang, dan Hisbul Watan terdiri dari
wanita-wanita untuk jadi pandu dan juru masak ketika itu.
Selain
itu di Tujuah Koto Talago ada Markas Komando Pertahanan Keamanan Resort 50 Kota
ada di Tobek Godang, Ampang Godang. beberapa nama tentara yang disebutkan
Yanuar ketika PDRI berlangsung. Tentara itu berasal dari daerah Ampang Godang
dan Padang Jopang. Diantaranya Letnan Azhari Abbas (anak Syekh Abbas), Letda
Tantawi (anak Syekh Mustafa), Syamsiram (Padang Jopang), Hamdani (Padang
Jopang), Munir. A (Padang Jopang), Alizar (Padang Jopang), Syahruddin Said
(Ampang Godang), Daman Huri (Ampang Godang).
Menurutnya
kenapa peninggalan bersejarah dan Rumah Mak Jawa tidak terawat, karena keluarga
Mahmud Yunus kurang keterbukaan informasi. Ada beberapa ketakutan dari pihak
keluarga ketika amanah diberikan kepada masyarakat setempat.
“Menurut
saya Pemerintahan Nagari sebenarnya mempunyai otonom yang bisa dilahirkan dari
peraturan Nagari (Pernag). Tidak usah menunggu dari pemerintah daerah,”
ucapnya.
Terkait
jabatan yang dipegang Mahmud Yunus sebagai menteri darurat waktu itu, Mestika
Zed Pakar Sejarah UNP menyatakan itu bisa terjadi. Karena melihat bukti sejarah
itu adanya PDRI dan rumah isteri Mahmud Yunus disana. Selain itu sebagai tokoh
pembaharu dan pendidikan dalam kondisi darurat tidak menutup kemungkinan Mahmud
Yunus jadi menteri. “Jadi karena latar belakang kekacauan waktu itu belanda
menyerang, jadi banyak para pelaku-pelaku PDRI kesana, ada juga yang
berkeluarga, termasuk Mahmud Yunus,” ujar Mestika Zed kepada kami,
Kamis (28/11).
Meskipun
demikian, Mestika Zed berpesan jangan terlalu heroik dengan cerita rakyat,
namun karena perjalan dan saksi sejarah beserta monumen yang ada setidaknya
kita bisa meneladani sosok Mahmud Yunus.
Ketika
ditanya sejarah dinamakan IAIN Imam Bonjol Mestika Zed mengatakan, Indonesia
memang sering berorientasi memberi nama-nama pahlawan terkait orang-orang
perang melawan belanda. untuk nama universitas dimana-mana termasuk perguruan
tinggi di IAIN tentunya pejuang ulama. Dan juga nama-nama perguruan tinggi
umum, dan juga nama-nama unit militer. Jadi pejuang itu adalah orang yang
melawan belanda.
Setelah
wawancara beberapa jam dirumah Yanuar kami kembali menemui Darwima di rumahnya.
Sesuai dengan janji yang dibuat ia sampai pukul 17.00 WIB namun karena bus yang
ditumpanginya mengantar penumpang lain Darwima sampai habis Shalat Magrib.
Kami
berangkat menuju rumah Adia untuk bercerita dan melaksanakan shalat Magrib.
Selesai shalat kami kembali kerumah Darwima, ia sampai di Padang Jopang dan
kami ikut membantunya membawakan barang bawaannya. Sampai dirumah kami
duduk-duduk sebentar lalu memulai perbincangan.
Penjaga Sukarela
Sembali
menyunguhkan buah tangannya Darwima menanya tentang kami. Mukanya merah aura
kelelahan. Ia memulai ceritanya tentang keadaan rumah dan museum hari ini. Menurut
penuturan Im (panggilannya) terakhir yang menjaga rumah Mak Jawa ialah Tono
(anak angkat Mahmud Yunus). Saksi sejarah terakhir PDRI ada Ismail Hasan. Namun
ia juga telah meninggal.
“Hingga
hari ini tak ada yang mengurus peninggalan-peninggalan mahmud yunus, rumah,
museum. Saya telah mengajukan proposal kepada pihak Cagar Budaya di Batusangkar.
Untuk memperbaiki museum, namun hingga hari ini SK belum keluar,” ujar Im.
Im
juga menambahkan, buku-buku Mahmud Yunus ada di dalam Mushalla al-Ikhlas sebelah
museum. Naum hingga hari ini buku-buku itu sudah banyak yang hilang, karena
administrasinya tidak ada lagi. Dari keterangan Im ada beberapa orang anak
Jawahir dengan Mahmud Yunus. “Mahmud Yunus memiliki tiga orang anak bersama
Jawahir, diantaranya Jawanis, Hamdi, Fakhruddin,” ucapnya.
Buku-buku karya Mahmud Yunus sudah tidak terawat lagi, habis dimakan rayap (di Sungayang tempat kelahirannya). |
Untuk
PDRI ketika Islamil hasan masih hidup iamengatakan, ketika perundingan keluarga
Jawahir bersedia menyediakan rumah untuk rapat. Ismail Hasan saksi sejarah
terakhir ketika PDRI menjadi notulen. Setiap peringatan Hari Bela Negara 19
Desember Ismail sering memberi pidato tentang PDRI. “Pak Ismail dalam pidatonya
selalu menceritakan tentang perundingan dulu, dia juga memberikan dana 20 juta
untuk rehab museum. Sebagai penggagas pembuatan museum ia ingin monumen sejarah
tetap dikenang,” kata Im.
Romantisme Mahmud Yunus
Dari
keterangan Yanuar. Sosok Mahmud Yunus dikenal masyarakat Nagari Tujuah Koto sebagai
orang surau (ustad), maka timbul pertanyaan bagiamana kisahnya
romantismenya dengan jawahir? Hingga mereka merajut asa bersama menjalin
bahtera kehidupan.
Awal
pertemuan Mahmud Yunus sering memberikan siraman rohani di surau (Mushalla),
disekitar Nagari Tujuah Koto Talago. ada beberapa suraunya yang dikenal masyarakat
seperti Surau Baruah. Surau Mahmud Yunus tersebut dijadikan icon untuk menimba ilmu agama islam setempat.
bukan saja anak remaja tapi orang dewasa sampai orang tua.
Hari berlalu, seriring jam terbang Mahmud
Yunus tinggi dalam menyampaikan ajaran agama Islam maka mahmud
yunus cukup terkenal di nagari Tujauh Koto Talago, jamaah bertambah
banyak. Bahkan pengawal Gubernur Sumatera Barat waktu itu, bernam serong, mengikuti
ajaran Mahmud Yunus dari surau ke surau.
Serong
lah yang mempertemukan Mahmud Yunus dengan
Jawahir pertama kalinya secara empat mata. Memang jawahir murid dari mahmud
yunus di surau baruah. Namun bertemu secara empat mata mahmud yunus tidak mau
karena takut dianggap fitnah oleh masyarakat setempat. Sekaligus menjaga
kredibilitas sebagai urang surau tersebut.
(Ridho Permana,
Epi Chandra)
sungguh sangat di sayangkan peninggalan yg besar dari pemikiran yg dahsyat di lupakan,diterlantarkan,diacuhkan oleh sebagian ummat manusia....
BalasHapus