Robi, Fotografer Monas. |
Malam
itu Minggu 23 Februari 2014, rintik hujan mengiringi perjalanan kami. Sekitar
30 menit mengitari jalanan Ibukota, akhirnya saya bersama kakak saya berhenti di
suatu tempat, tempat yang awalnya menjadi tujuan kami berdua.
Sesampai di sana kami
memarkirkan motor, perlahan mulai melangkahkan kaki ke sebuah tugu yang dikenal
sebagai (Monumen Nasional), tempat yang sering di kunjungi banyak orang di Ibukota
untuk menghabiskan waktu di akhir pekan (weekand).
Sepanjang
perjalanan kami memperhatikan aktifitas pedagang, sorak-sorai penjual berbagai
jenis cindera mata. Sembari berjalan terdengar percakapan orang-orang berbahasa
Minang, tak heran banyak perantau minang yang mecari hidup di Ibukota. Tepat di
lapangan depan Tugu Monas kami berhenti sejenak, duduk sambil menikmati angin
malam. Tak lama kemudian mecoba mengabadikan momen, foto-foto secara bergantian, malam semakin
larut terasa sedikit gerimis.
Setelah
beberapa kali jepretan kembali mencoba mengabadikan momen, kali ini tidak
dengan kamera Handphone, namun kami
mencari seorang fotografer untuk mengabadikannya. Terlihat seorang pria memakai
baju putih, dilampisi rompi biru memakai celana jeans dan sepatu kets, dia
tidak sendiri terlihat seorang anak laki-laki menemaninya.
Perlahan
kami mendekat dan menghampirinya, pria itu terlihat syik memainkan kamera DSLR
nya. Awalnya kami hanya bertanya berapa harga satu lembar foto langsung jadi. “Satu
foto berapa duit mas?” Ia menjawab “Lima Belas Ribu Rupiah mas”. Akhirnya kami
memutuskan mengabadikan satu lembar foto saja.
Selesai
berfoto saya melihat jam tangan, waktu menunjukkan pukul 21.30 WIB, kami
mencoba duduk sejenak di dekat pria itu lalu memperkenalkan diri. Percakapan pun
terjadi antara kami dengannya. Namanya Robi, pria asal Lampung kelahiran 1978. Robi mulai bercerita bagaimana kesehariaannya di Monas, tentang
kehidupannya sebagai fotografer.
Bapak
dari tiga orang anak ini telah mengadu nasib di Ibukota semenjak tahun 1993. Dilatarbelakangi
kehidupan keluarga yang mulai goyah, perekonomian keluarganya tidak stabil
akhirnya robi memutuskan untuk berhenti sekolah dan mengadu nasib ke Jakarta. Melihat
kondisi adik-adiknya yang masih kecil akhirnya Robi memberanikan diri merantau.
Ia
mengaku telah melakoni semua perkejaan selama hidup di Jakarta kecuali kerja bangunan
dan menjadi tukang semir sepatu. Awal hidup di Jakarta hanya berbekal pergaulan
dan keuletan. Karena memang hobi dengan fotografi juga hingga hari ini bertahan
menjadi fotografer.
Tidak
pernah belajar atau ikut sekolah fotografi, hanya berbekal pergaulan. Banyak
suka duka yang pernah dilaluinya, ia menceritakan pengalaman pertama bekerja
sebagai fotografer hanya berbekal kamera teman, ketika itu masih menggunakan
kamera jadul, belum digital seperti sekarang. “Waktu itu fotografer di Monas
masih empat orang mas,” ujarnya.
Tak
ada kata malu atau menyerah dalam mencari nafkah. Suami dari Eka Yanti (25
tahun) ini selalu berjuang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Kini Ahmad
Agi anaknya yang pertama duduk di kelas 1 SMA Pesantren Sumber Jaya Lampung, tinggal
bersama orangtua Robi.
Sehari-hari
ia bekerja di Monas mulai pukul 08.00 sampai pukul 24.00 WIB. Dalam sehari bisa menghasilkan uang 400 ribu. Jika hari libur,
atau hari libur nasional Robi bisa berpenghasilan Rp 1.000.000. Ia mengaku jika
hanya membawa uang Rp 200.000 tidak cukup untuk kebutuhan keluarganya, karena untuk
kebutuhan anaknya yang berumur tiga tahun dan kebutuhan pokok, aplagi ia harus mengirim uang ke kampung untuk biaya anak yang sekolah di sana. Tapi ia yakin
bahwa pitu rezki selalu ada untuknya. “Alhamdulillah saya masih bisa
menghasilkan uang di atas Rp 200.000 sehari mas, kalau ada turis harga saya
naikkan Rp 5.000,” Ucapnya.
Dalam
melakoni pekerjaannya yang menjadi kendala bagi Robi adalah hujan, kadang
pengunjung sepi. “Semenjak banjir penghasilan saya menurun, kalau Jakarta sudah
sering hujan Monas sering sepi mas, saya berusaha mencari pinjaman untuk
mencukupi kebutuhan harian,” tutur Pria asli Desa Mekar Jawa, Lampung Barat
ini.
Sehari-hari
Robi ditemani Syahrul anak keduanya. Syahrul yang duduk di kelas 1 SMP itu
selalu setia menemani ayahnya, apalagi ketika hari libur sekolah. Banyak harapan
yang belum terwujud menurut Robi. Memiliki Studio fotografi sendiri, membuka
cabang di Lampung, semua keinginan itu semata-mata untuk masa depan anak-anak. Jika
anaknya yang pertama sekolah di pesantren maka ia berharap anaknya bisa
mendalami ilmu agama dengan baik, begitu juga dengan Syahrul, karena ia yang
selalu ikut dengan Robi ia ingin Syahrul mewarisi pekerjaannya. “Saya ingin
punya studio sendiri dan Syahrul bisa mewarisi pekerjaan saya ini, walupun
sekolah saya tidak sampai namun setidaknya anak-anak saya bisa sukses,” Tutur
Robi.
Kini
Robi bersama istri dan anak ketiganya yang masih berumur tiga tahun tinggal di Kebun
Jeruk Slengseng. Mempunyai prinsip apa yang bisa di jalani itu yang bisa
dilakukan membuatnya terus bersyukur menjalani hidup ini. Harapannya semua
anaknya sukses di jenjang pendidikan dan mencapai cita-citanya masing-masing. “Buat
saya hidup bukan gimana nanti, tapi nanti gimana, intinya berhati-hati dalam
melangkah,” ucapnya menutup perbincangan.
(Ridho Permana)
(Ridho Permana)
buset.. 200 ribu tidak cukup kalau dibawa pulang -_-. Standar hidupnya tinggi banget..
BalasHapus