Pejuang Kata-kata

Menjadi pejuang kata-kata suatu pekerjaan yang menyenangkan. Lahir dari kata, bekerja untuk kata, hidup juga karena kata.

Karena kata-kata juga Blog ini lahir untuk memainkan setiap sentuhan kata yang dirangkai menjadi sebuah tulisan. Selamat bermain kata-kata.

Senin, 24 Februari 2014

Robi, Sang Fotografer Monas: “Hidup Bukan Bagaimana Nanti, Tapi Nanti Bagaimana”

Robi, Fotografer Monas.
Malam itu Minggu 23 Februari 2014, rintik hujan mengiringi perjalanan kami. Sekitar 30 menit mengitari jalanan Ibukota, akhirnya saya bersama kakak saya berhenti di suatu tempat, tempat yang awalnya menjadi tujuan kami berdua. 
Sesampai di sana kami memarkirkan motor, perlahan mulai melangkahkan kaki ke sebuah tugu yang dikenal sebagai (Monumen Nasional), tempat yang sering di kunjungi banyak orang di Ibukota untuk menghabiskan waktu di akhir pekan (weekand).

Sepanjang perjalanan kami memperhatikan aktifitas pedagang, sorak-sorai penjual berbagai jenis cindera mata. Sembari berjalan terdengar percakapan orang-orang berbahasa Minang, tak heran banyak perantau minang yang mecari hidup di Ibukota. Tepat di lapangan depan Tugu Monas kami berhenti sejenak, duduk sambil menikmati angin malam. Tak lama kemudian mecoba mengabadikan momen,  foto-foto secara bergantian, malam semakin larut terasa sedikit gerimis.

Setelah beberapa kali jepretan kembali mencoba mengabadikan momen, kali ini tidak dengan kamera Handphone, namun kami mencari seorang fotografer untuk mengabadikannya. Terlihat seorang pria memakai baju putih, dilampisi rompi biru memakai celana jeans dan sepatu kets, dia tidak sendiri terlihat seorang anak laki-laki menemaninya.

Perlahan kami mendekat dan menghampirinya, pria itu terlihat syik memainkan kamera DSLR nya. Awalnya kami hanya bertanya berapa harga satu lembar foto langsung jadi. “Satu foto berapa duit mas?” Ia menjawab “Lima Belas Ribu Rupiah mas”. Akhirnya kami memutuskan mengabadikan satu lembar foto saja.

Selesai berfoto saya melihat jam tangan, waktu menunjukkan pukul 21.30 WIB, kami mencoba duduk sejenak di dekat pria itu lalu memperkenalkan diri. Percakapan pun terjadi antara kami dengannya. Namanya Robi, pria asal Lampung kelahiran 1978. Robi mulai bercerita bagaimana kesehariaannya di Monas, tentang kehidupannya sebagai fotografer.  

Bapak dari tiga orang anak ini telah mengadu nasib di Ibukota semenjak tahun 1993. Dilatarbelakangi kehidupan keluarga yang mulai goyah, perekonomian keluarganya tidak stabil akhirnya robi memutuskan untuk berhenti sekolah dan mengadu nasib ke Jakarta. Melihat kondisi adik-adiknya yang masih kecil akhirnya Robi memberanikan diri merantau.

Ia mengaku telah melakoni semua perkejaan selama hidup di Jakarta kecuali kerja bangunan dan menjadi tukang semir sepatu. Awal hidup di Jakarta hanya berbekal pergaulan dan keuletan. Karena memang hobi dengan fotografi juga hingga hari ini bertahan menjadi fotografer.

Tidak pernah belajar atau ikut sekolah fotografi, hanya berbekal pergaulan. Banyak suka duka yang pernah dilaluinya, ia menceritakan pengalaman pertama bekerja sebagai fotografer hanya berbekal kamera teman, ketika itu masih menggunakan kamera jadul, belum digital seperti sekarang. “Waktu itu fotografer di Monas masih empat orang mas,” ujarnya.

Tak ada kata malu atau menyerah dalam mencari nafkah. Suami dari Eka Yanti (25 tahun) ini selalu berjuang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Kini Ahmad Agi anaknya yang pertama duduk di kelas 1 SMA Pesantren Sumber Jaya Lampung, tinggal bersama orangtua Robi.

Sehari-hari ia bekerja di Monas mulai pukul 08.00 sampai pukul 24.00 WIB. Dalam sehari  bisa menghasilkan uang 400 ribu. Jika hari libur, atau hari libur nasional Robi bisa berpenghasilan Rp 1.000.000. Ia mengaku jika hanya membawa uang Rp 200.000 tidak cukup untuk kebutuhan keluarganya, karena untuk kebutuhan anaknya yang berumur tiga tahun dan kebutuhan pokok, aplagi ia harus mengirim uang ke kampung untuk biaya anak yang sekolah di sana. Tapi ia yakin bahwa pitu rezki selalu ada untuknya. “Alhamdulillah saya masih bisa menghasilkan uang di atas Rp 200.000 sehari mas, kalau ada turis harga saya naikkan Rp 5.000,” Ucapnya.

Dalam melakoni pekerjaannya yang menjadi kendala bagi Robi adalah hujan, kadang pengunjung sepi. “Semenjak banjir penghasilan saya menurun, kalau Jakarta sudah sering hujan Monas sering sepi mas, saya berusaha mencari pinjaman untuk mencukupi kebutuhan harian,” tutur Pria asli Desa Mekar Jawa, Lampung Barat ini.

Sehari-hari Robi ditemani Syahrul anak keduanya. Syahrul yang duduk di kelas 1 SMP itu selalu setia menemani ayahnya, apalagi ketika hari libur sekolah. Banyak harapan yang belum terwujud menurut Robi. Memiliki Studio fotografi sendiri, membuka cabang di Lampung, semua keinginan itu semata-mata untuk masa depan anak-anak. Jika anaknya yang pertama sekolah di pesantren maka ia berharap anaknya bisa mendalami ilmu agama dengan baik, begitu juga dengan Syahrul, karena ia yang selalu ikut dengan Robi ia ingin Syahrul mewarisi pekerjaannya. “Saya ingin punya studio sendiri dan Syahrul bisa mewarisi pekerjaan saya ini, walupun sekolah saya tidak sampai namun setidaknya anak-anak saya bisa sukses,” Tutur Robi. 


Kini Robi bersama istri dan anak ketiganya yang masih berumur tiga tahun tinggal di Kebun Jeruk Slengseng. Mempunyai prinsip apa yang bisa di jalani itu yang bisa dilakukan membuatnya terus bersyukur menjalani hidup ini. Harapannya semua anaknya sukses di jenjang pendidikan dan mencapai cita-citanya masing-masing. “Buat saya hidup bukan gimana nanti, tapi nanti gimana, intinya berhati-hati dalam melangkah,” ucapnya menutup perbincangan.

(Ridho Permana)

1 komentar:

  1. buset.. 200 ribu tidak cukup kalau dibawa pulang -_-. Standar hidupnya tinggi banget..

    BalasHapus