(Salah satu komplek makam yang terkenal dan sudah dipugar di Gampong Pande, Banda Aceh) |
Tak banyak yang peduli dengan Gampong Pande. Sedikit kumuh dan tertinggal dari desa lainnya, sejarah Gampong Pande perlahan mulai dilupakan. Lalu, tumpukan koin emas yang ditemukan Fatimah, 45 tahun, pencari tiram asal Lampaseh, membawa Gampong Pande jadi perhatian.
Gampong Pande, hanya sebuah kawasan pinggiran Kota Banda Aceh. Meski sarat sejarah pada HUT Kota Banda Aceh tahun 2013, Gampong Pande ditetapkan menjadi titik nol Kota Banda Aceh, namun kawasan ini masih masuk dalam kategori desa tertinggal.
Dalam sejumlah manuskrip sejarah kerajaan Aceh jelas disebutkan tentang keberadaan Gampong Pande. Diisi oleh para pandai besi, menjadikan kawasan yang terletak di pesisir pantai Samudera Hindia ini diberi nama Gampong Pande.
Gampong Pande konon merupakan pusat kekuasaan kerajaan Aceh sebelum bergeser ke kawasan pusat kota sekarang. Tak heran jika di kawasan ini banyak ditemukan batu nisan peninggalan masa lalu. Dan tak mengherankan pula kalau setelah ratusan tahun Gampong Pande ‘hilang’, Fatimah menemukan koin emas yang konon peninggalan masa Kesultanan Aceh Darussalam.
” Gampong Pande dulunya adalah pusat Kerajaan Aceh,” kata Drs Rusdi Sufi, sejarawan Aceh. Di situ, tambahnya, merupakan pusat pemerintahan Sultan Alaidin Muhammadsyah.
Mata Uang Resmi
(Salah seorang warga memperlihatkan temuan koin emas di Muara Krueng Doy, Gampong Pande, Banda Aceh) |
Demikian dikatakan Tarmizi A Hamid, sejarawan Aceh yang mengoleksi ribuan manuskrip naskah kuno Aceh di Banda Aceh, menanggapi temuan ratusan keping uang emas di kawasan Gampong Pande, Banda Aceh.
Dari letak geografisnya, kata Tarmizi, tidak tertutup kemungkinan banyak lagi harta karun peninggalan kerajaan Aceh di kawasan cagar budaya Gampong Pande. Karena selain mata uang, beberapa jenis senjata tradisional lainnya juga diciptakan di sana.
Tarmizi menegaskan, di masa kerajaan Aceh, setiap orang memiliki perbedaan kasta dalam memakai koin-koin tertentu. Menurutnya, pada masa sultanah, beda sultanah beda mata uang emasnya. Karena setiap sultanah yang menjabat membuat mata uang dari emas.
“Di koin-koin itu juga tertera nama sultanah yang mengeluarkan uang tersebut, jadi bisa diteliti dari masa sultanah mana uang itu dikeluarkan,” sebutnya.
Tarmizi menambahkan, pemakaian mata uang sudah diatur berdasarkan kasta; saudagar atau orang-orang dewasa mengunakan dirham yang terbuat dari emas murni, dinar yang terbuat dari campuran emas, kuningan diperuntukan untuk remaja, sedangkan mata uang keuh yang terbuat dari timah digunakan oleh anak-anak.
“Tidak semua jenis koin temuan warga terkandung emas, seharusnya koin-koin itu diteliti lebih dulu. Masyarakat jangan gegabah menjualnya,” harap Tarmizi.
Penelitian terhadap koin-koin itu, katanya, bisa mengindentifikasikan asal muasal dan periode pemakaian sebagai mata uang.
“Kalau uang itu diciptakan masa Sultan Iskandar Muda, bisa dipastikan kandungan emasnya murni,” katanya.
Milik Sultan Alaidin Muhammadsyah
(Makam para raja Aceh di situs cagar budaya Gampong Pande) |
“Kemungkinan pertama, koin emas yang merupakan mata uang dirham itu milik kerajaan dari salah satu sultan Aceh. Mengingat Gampong Pande dulunya adalah pusat Kerajaan Aceh,” kata Rusdi.
Gampong Pande ditinggalkan ketika Maret 1873, Belanda yang masuk melalui Pante Cermen, Ulhelheu, menyerang pusat Koetaradja (Banda Aceh-sekarang). Pantai Cermin hanya berjarak ratusan meter dari Gampong Pande.
“Serangan mendadak ini membuat sultan saat itu, Alaidin Muhammadsyah dan penghuni istana, termasuk perajin kerajaan, dan penduduk Gampong Pande mengungsi ke tempat aman, sehingga meninggalkan barang-barang tersebut,” katanya.
Rusdi Sufi memperkirakan, pada saat terjadinya eksodus warga dari Gampong Pande itulah, koin-koin itu tak sempat diselamatkan, dan tertinggal di tempat disembunyikan, sampai kemudian ditemukan oleh pencari tiram.
“Dugaan kedua, koin emas itu milik keluarga istana yang berlokasi di Gampong Pande pada abad 19. Namun, karena ada peristiwa alam, yakni naiknya air laut ke kawasan Gampong Pande, semacam tsunami, maka penghuni Gampong Pande lari berpencar, di samping ada yang menjadi korban,” terangnya.
Namun, ia tidak bisa memastikan, sebab mana yang dominan dari dua kemungkinan itu. Untuk bisa memastikannya diperluhkan riset dan analisis kepurbakalaan oleh arkeolog di lokasi temuan koin-koin emas itu.
Dalam buku “Mata Uang Emas Kerajaan-Kerajaan di Aceh” yang ditulis Prof Teuku Ibrahim Alfian dijelaskan, mata uang itu beredar sekitar tahun 1735-1760. Pada sisi muka terdapat tulisan arab berbunyi Alaidin Syah Johan dengan sisi belakang berbunyi Paduka Sri Sultan Al Adil. Sedangkan koin itu memilik berat 0,450 gram, tebal 0,73 mm dengan garis tengah 14 mm.
(Tiga keping mata uang emas Kerajaan Aceh yang ditemukan warga Banda Aceh) |
Koin emas merupakan salah satu sumber primer sejarah, selain naskah-naskah kuno dan artefak lainnya. Saat ini, koin tertua yang pernah ditemukan di Aceh bertarikh 1297 yang dikeluarkan pada masa Kesultanan Muhammad Malikul Zahir dari Kerajaan Samudra Pasai.
Para ahli sejarah menyimpulkan temuan koin di Samudra Pasai adalah yang tertua di Aceh. Untuk memastikan apakah koin temuan di Gampong Pande lebih tua dari Samudra Pasai, perlu dilakukan riset dan penelitian numismatik (ilmu tentang mata uang kuno).
Sultan Johansyah mendirikan Kerajaan Aceh Darussalam pada 1205 dan diakhiri dengan masa kepimpinan Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, pada 1290 H.
Awal abad 20, masyarakat Aceh masih menggunakan mata uang emas ini hingga memasuki masa-masa kemerdekaan dan Aceh masuk dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Uang emas masih digunakan sampai Belanda datang ke tanah air. Setelah Aceh bergabung dengan NKRI, baru periode pemakain uang itu berhenti,” tutup Tarmizi A Hamid.[]
Sumber: VIVALOG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar