|
Peta Indonesia dan negara-negara di sekitarnya. |
Dua puluh dua tahun lalu, gempa dan tsunami dahsyat melanda Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Sebanyak 2.500 orang tewas. Kerusakan terparah terutama dialami Kota Maumere dan Pulau Babi, pulau berdiameter 2,5 kilometer di utara Flores. Dari kedahsyatan dan dampaknya, tsunami Flores merupakan salah satu yang terkuat di Indonesia, selain tsunami Aceh pada 2004.
Petaka itu dimulai oleh gempa berkekuatan 7,5 skala Richter pada Sabtu, 12 Desember 1992, sekitar pukul 13.29 Wita. Pusat gempa terletak di kedalaman laut, 35 kilometer (km) arah barat laut Kota Maumere. Gempa itu lalu memicu longsor bawah laut, yang membuat tsunami Flores mematikan. Kombinasi gempa dan longsor itu membangkitkan ketinggian tsunami hingga lebih dari 25 meter dan melanda 300 meter ke daratan.
Terjadinya longsor bawah laut itu dipetakan para peneliti Jepang yang berkunjung ke pantai utara Flores dan Pulau Babi, dua pekan setelah petaka itu. ”Kami ke pantai utara Flores mengunjungi 40 desa di sana untuk mengukur ketinggian tsunami,” tulis Yoshinobu Tsuji dan tim dalam publikasi berjudul Damage to Coastal Villages Due to the 1992 Flores Island Earthquake Tsunami (1995).
Disebutkan, ketinggian tsunami di Kampung Wuring (Flores) mencapai 3,2 meter. Seluruh Kampung Wuring, yang hanya 2 meter di atas permukaan laut itu, tenggelam. Sebanyak 87 orang tewas di sana. Di Desa Riangkroko, di sisi timur Pulau Flores, tinggi gelombang 26,2 meter dan menewaskan 137 orang. Tingginya gelombang di Riangkroko itu akibat gempa memicu longsor di Teluk Hading, yang melipatgandakan kekuatan tsunami.
Zona rentan
Hingga tahun 1992 itu, Indonesia belum memiliki ahli tsunami sehingga riset soal tsunami Flores lebih banyak dilakukan ahli-ahli Jepang. Perhatian kalangan ilmuwan Indonesia terhadap tsunami baru terbangkitkan setelah tsunami Aceh 2004.
Namun, hingga saat ini, penelitian tentang gempa dan tsunami, terutama di kawasan Indonesia timur, ternyata masih tetap minim. ”Dibutuhkan penelitian mendalam terkait sumber gempa dari subduksi ganda di Indonesia timur. Daerah ini belum banyak datanya sehingga kami sulit memetakan ancamannya,” tutur Irwan Meilano, ahli gempa dari Pusat Penelitian Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung (Kompas, Senin, 16/11/2014).
|
Warga melihat tulisan pada batu nisan seusai berdoa dan menabur bunga di kuburan massal korban gempa dan tsunami, Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, dalam peringatan sembilan tahun tsunami Aceh, Kamis (26/12/2013). Gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 silam menyebabkan sekitar 230.000 korban meninggal serta ratusan ribu bangunan rusak.
Padahal, kawasan
Indonesia timur merupakan yang paling rentan tsunami. Berdasarkan Data dan
Informasi Bencana Indonesia (DIBI), sepanjang tahun 1629-2014, Indonesia
dilanda 174 tsunami. Sebanyak 60 persen di kawasan Indonesia timur.
Di mana dan kapan
tsunami berikut masih misteri. Misalnya, pada 2003, ahli gempa Kerry Sieh dari
California Institute of Technology merekonstruksi riwayat gempa di segmen
Mentawai. Dia menemukan megathrust ini di ujung siklus. Ancaman tsunaminya
diprediksi akan mencapai Kota Padang.
Namun, pada 2004,
tsunami ternyata terjadi di zona Aceh-Andaman, bukan di Mentawai. Setelah
tsunami Aceh, Kerry kembali mengingatkan ancaman segmen Mentawai ini.
Lagi-lagi, tsunami terjadi di tempat lain, yaitu di Nias pada 2005 dan
Pangandaran pada 2006. Masalahnya, segmen Mentawai ini datanya paling lengkap.
Bagaimana dengan kawasan timur Indonesia yang masih gelap datanya?
Setelah tsunami Tohoku
(Jepang) 2011, para ahli sepakat bahwa gempa besar dan tsunami dapat terjadi di
semua jalur subduksi di dunia. Ini berarti, hanya soal waktu, gempa dan tsunami
terjadi di jalur subduksi yang mengepung Indonesia, mulai dari barat Sumatera,
selatan Jawa, Bali, Flores, utara Sulawesi dan utara Papua, serta Maluku dan
Seram.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar