Spirit korea |
Jika
tidak jadi manusia yang unggul, kami akan mati. Itulah prinsip yang dipegang
bangsa Korea Selatan yang miskin sumber daya alam dan secara geopolitik
dikepung empat kekuatan besar: Tiongkok, Rusia, Korea Utara, dan Jepang.
Tiga laki-laki itu
memiliki jalan hidup berbeda. Namun, boleh jadi mereka dibentuk dengan doktrin
dan pola pendidikan yang sama oleh generasi di atasnya yang merasakan pedihnya
perang dan kemiskinan.
Louis Go (39),
pengusaha bidang hiburan, menceritakan, ia dididik dengan kisah tentang bangsa
Korea yang sejak dulu lebih baik daripada Jepang dan Tiongkok.
”Kerajaan-kerajaan Korea pernah ekspansi hingga daratan Tiongkok dan Jepang,”
ujar Go mengulang kisah yang sejak kecil dituturkan orangtuanya.
Soal penjajahan Jepang
atas Korea pada awal abad ke-20, ayah Go berpendapat, ”Kami hanya kalah cepat
dari Jepang. Akan tetapi, Korea tetap lebih baik daripada Jepang.”
Ketika Go mulai sekolah
pada 1982, ia ingat setiap minggu gurunya memeriksa semua tas murid. ”Kalau
guru menemukan pensil atau pulpen buatan Tiongkok atau Jepang, ia akan menegur.
Guru lalu mengingatkan semua murid agar menggunakan produk lokal,” tambah Go,
akhir Agustus lalu, di sebuah restoran Korea di Jalan Wolter Monginsidi,
Jakarta.
Saat itu, Go sebenarnya
punya pensil buatan Jepang yang kualitasnya bagus dibandingkan dengan pensil
Korea. Namun, ia tak pernah berani memakainya, apalagi membawanya ke sekolah.
”Rasanya malu sekali kalau sampai ketahuan punya produk Jepang atau Tiongkok.
Sebab, Jepang dulu pernah menjajah kami dan Tiongkok negara komunis yang
membuat kami perang saudara,” ucapnya.
Di lingkungan tempat
tinggalnya di Seoul, setiap pagi dan sore, Go mendengar lagu-lagu bernada
patriotik yang mengalun dari pelantang suara yang dipasang di sejumlah tiang di
setiap RT/RW. ”Kalau lagu sudah dibunyikan, orang yang sedang berjalan pun
berhenti. Kalau tidak, rasanya malu. Tahun 1990-an, itu hilang,” tambah Go.
Setelah tumbuh dewasa,
Go baru mengerti bahwa kisah tentang kejayaan Korea yang dituturkan
orangtuanya, ”operasi” tas setiap minggu di sekolahnya dan lagu-lagu patriot
yang diperdengarkan dua kali sehari—seperti jadwal minum obat—di lingkungannya,
adalah cara generasi tua Korea menanamkan sikap patriot dan rasa bangga pada
negara. ”Makanya, sekarang kami ’pede’ berhadapan dengan Jepang,” ujarnya.
Lee Kang-hyun, Presiden
Korean Chamber of Commerce in Indonesia, punya cerita berbeda. Ayahnya yang
seorang politikus dipenjara karena bersikap kritis, sementara ibunya meninggal
saat ia duduk di kelas 3 SD. Maka, keadaan menuntutnya hidup mandiri. ”Saya
tidak boleh kelihatan sedih atau susah karena lingkungan menuntut semua orang
memperlihatkan keteguhannya. Saya bekerja keras dan bersaing untuk mengejar
cita-cita,” tutur Lee.
Karakter Lee sebagian
juga dibentuk saat ia mengikuti wajib militer. Dari situ ia tahu, ada empat
prioritas buat orang Korea yang mesti dibela, yakni pertama, negara; kedua,
perusahaan; ketiga keluarga; terakhir, diri sendiri. ”Mungkin sekarang sedikit
bergeser. Namun, orang Korea tetap bersedia mati untuk negara,” katanya, akhir
Agustus.
Park Sang-il (60),
profesor di Seoul National University of Science and Technology, juga produk
pendidikan generasi yang terlibat dalam perang. Ketika ia sekolah di SMA awal
1970-an, bangsa Korsel sedang membangun diri jadi negara industri. ”Hampir
semua anak muda ingin jadi insinyur ketika itu,” ujarnya.
Park termasuk di
antaranya. Maka, selepas SMA, ia kuliah di jurusan elektronika di Yonsei
University. Tahun 1980-an, ia sadar, industri masa depan ada di bidang
semikonduktor. Ia lantas mengejar cita-cita menjadi ahli semikonduktor ke AS
hingga jenjang doktor. Sepulang dari AS, ia menjadi bagian kisah sukses Samsung
Electronics.
Kini, sebagai profesor,
ia menyiapkan insinyur-insinyur baru dari generasi yang tumbuh bersama K-Pop.
Awal September, kami bertandang ke ruang kerjanya yang sarat kertas kerja dan
panel elektronik hasil eksperimennya. Ia mengenalkan kepada kami empat
mahasiswanya yang akan dikirim magang kerja di perusahaan-perusahaan Korsel di
luar negeri.
Salah seorang di
antaranya perempuan dengan rambut dicat coklat dan diikat karet warna-warni.
Kausnya tanpa lengan dengan dahi diberi penghias. Ia mirip penyanyi hip hop
Korea ketimbang calon insinyur.
”Generasi saya bisa
seperti sekarang karena disiplin, tidak mau kalah, dan bekerja ekstra keras
untuk memenangi persaingan. Nilai-nilai itu masih dipegang anak muda sekarang.
Mereka bahkan lebih pintar. Yang saya tidak mengerti adalah mengapa generasi
muda sekarang suka K-Pop, ha-ha-ha,” ujarnya sambil memperlihatkan video
mahasiswanya yang bergaya seperti artis K-Pop.
Sumber: Kompas.com
(Ridho Permana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar